the real of agroeducation

the real of agroeducation
Can be Change!

konsep diri itu penting!

memaksimalkan potensi, itulah amanah dari Tuhan.

Minggu, Mei 16, 2010

Essay solusi pangan

Agribisnis Berlandaskan Pendewasaan Agorindustri sebagai Basis Pertanian Dalam Rangka Mewujudkan Kemandirian Pangan Bangsa


Situasi Indonesia tercinta. Indonesia cemerlang dengan agribisnis.
Indonesia merupakan ranah yang menggiurkan bagi industri Pertanian. Indonesia memiliki fenomena-fenomena alam yang asri dan senantiasa menyimpan potensi-potensi pertanian yang sangat bernilai. Sehingga seluruh dunia mengenal Indonesia sebagai salah satu negara agroindustri yang sangat potensial. Hal ini dibuktikan dengan metamorfosa kemakmuran pertanian dan keasrian alam yang terhampar luas di dataran bumi pertiwi Indonesia. Realita tersebut bersinambungan dengan banyaknya jumlah penduduk di Indonesia yang melimpah-ruah pula. Sehingga dengan kemakmuran sumber daya tersebut seyogyanya mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh penduduknya.
Letak geografis Indonesia yang tepat berada di jalur katulistiwa juga menguntungkan bagi varietas-varietas bahan pertanian di Indonesia. Sehingga hampir semua jenis varietas pertanian bisa dibudidayakan secara berkelanjutan dengan penerapan tradisional maupun penerapan teknologi (Agroteknologi) di ranah Indonesia. Realita sumber daya alam yang melimpah ruah seperti itu sewajarnya mampu membangkitkan Indonesia dari limbung negara miskin menjadi negara kaya karena hasil pertaniannya.
Hal-hal ini yang seharusnya menjadi titik acuan kita terutama sebagai mahasiswa. Ironis memang, menilik kondisi perekonomian bangsa yang kritis dengan hutang negara terhadap Bank Dunia yang menumpuk. Bangsa yang dahulu bangga akan alamnya yang disebut agraris dan lohjenawi. Sekarang, bagaimana lagi Indonesia dikatakan negara agraris kalau petani semakin merintih karena bahan pangan saja harus bergantung pada impor. Dan bagaimana juga Indonesia masih bisa dikatakan sebagai negara yang lohjenawi kalau dari Sabang sampai Merauke masih banyak rakyatnya yang mati kelaparan? termasuk berbagai permasalahan bangsa berhubungan dengan krisis pangan dan energi yang tidak sinkron dengan realita potensi sumber daya alam di bumi pertiwi ini yang sangat melimpah. Ini adalah sebuah bukti anomali. Seperti uraian pak Edi Santosa, dosen Agronomi dan Hortikultura, saat memberi materi mengenai Swasembada Pangan Berkelanjutan. Beliau mengutip pernyataan Tejo Pramono, “coba tunjukkan apakah ada satu negara pun di dunia yang alamnya kaya tetapi petaninya miskin...’’ jawabnya ada satu, yaitu Indonesia.
Pada tahun 2003 Indonesia mengikatkan diri ke dalam perdagangan bebas AFTA. Tahun 2005 dengan WTO (World Trade Organization). Sedangkan pada tahun 2020 dengan AFEC. Dan esok hari Indonesia bergelut dengan ACFTA. Era ACFTA (Asean China Free Trade Area) yang juga merupakan situasi krusial bagi negara-negara berkembang seperti negara Indonesia. Karena komoditi pertanian dalam negeri harus mampu bersaing dengan komoditi luar.
Inti dari permasalahan tersebut terkandung dalam ketidakstabilan ekonomi negara karena fakirnya kesadaran masyarakat mengenai masih banyaknya potensi-potensi alam yang senantiasa diacuhkan begitu saja. Nyatanya sumber daya alam Indonesia merupakan satu-satunya harta yang paling besar dan nyata yang dimilki oleh Indonesia dan berpotensi besar mengangkat sektor ekonomi negara. Alih-alih berbicara mengenai ACFTA, Indonesia pun kini masih belum bisa memaksimalkan SDA sendiri.
Solusi real dalam usaha memaksimalkan SDA adalah berwirausaha berbasis pertanian modern. Membangun negeri ini menjadi negara agroindustri dengan memaksimalkan SDA. Berwirausaha di bidang pertanian merupakan apresiasi nyata yang bisa diwujudkan oleh segenap masyarakat serta sebagai tantangan bagi generasi muda, khususnya mahasiswa dalam mengaplikasikan potensi akademiknya untuk berwirausaha dalam bidang pertanian.
Pangan, benang kehidupan. Dan solusi kemandirian pangan.
Beranjak dari semangat juang yang dituangkan oleh presiden Soekarno, pada saat peresmian kampus IPB, yang pada intinya beliau menyampaikan bahwa dengan memaksimalkan fungsi pertanian sebuah negara mampu memenuhi kebutuhan fundamental negara yaitu berupa kesejahteraan pangan dan perekonomian.
Sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mampu bertahan bahkan mengalami surplus atau swasembada pada tahun 1998 dan 2008. Hal tersebut mengindikasikan bahwa potensi yang sangat besar yang bisa dijadikan benteng pada saat era ACFTA adalah sektor pertanian. Sehingga, meskipun ACFTA tetapi Indonesia tidak mengalami keterpurukan pangan.
Direktur Jenderal Organisasi Pangan dan Pertanian FAO, Dr. Jacques Diouf, mengemukakan bahwa setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan kelangkaan pangan dunia hingga menyebabkan melambungnya harga pangan di berbagai negara termasuk Indonesia. Pertama, meningkatnya kebutuhan bahan pangan di negara-negara yang sedang tumbuh ekonominya seperti China dan India, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Faktor kedua, rendahnya stok pangan dunia. Diperkirakan stok pangan dunia akan turun menjadi 405 juta ton pada akhir 2008. Kenyataan ini tentu mengejutkan sebab jika hal ini terjadi, maka akan menyebabkan stok pangan dunia menyusut, stok terendah setelah tahun 1982. Ketiga, banyaknya peristiwa bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai yang terkait dengan adanya perubahan iklim global. Sementara itu, melalui data statistik diperoleh bahwa produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami penurunan sebanyak 11,1% selama empat tahun terakhir. Hal ini jelas menggambarkan berkuranganya ketersediaan pangan.
Sehingga diperlukannya inovasi agroindustri yang mengedepankan pemuliaan sumber daya hayati tanaman, menekankan penarapan dan pengembangan teknologi sebagai basis dalam mengembangkan pertanian untuk mewujudkan kemandirian pangan. Teknik-teknik pemuliaan tanaman baik berupa hidroponik, green house sangat potensional bila diterapkan di tanah Indonesia yang memilki iklim basah.
Budidaya varietas secara ilmiah dan kompleks dengan metode bioteknologi kultur jaringan mampu menambahkan keragaman genetasi varietas. Secara tidak langsung memperkokoh ketahanan pangan negeri sehingga mampu berswasembada. Menjadi penunjang devisa negara dari pondasi produk-produk pertaniannya yang mencakup Hortikultura, Perikanan, Kehutanan, Peternakan yang memilki nilai jual tinggi atau laris manis saat dipasarkan secara global melalui agribisnis Multinasional maupun Internasional.
Inovasi baru agroteknologi sebagai dasar pengembangan agroindustri juga merupakan hal yang essensial lain bagi perkembangan pertanian. Salah satu penerapan agroteknologi ialah menambah daya guna produk pertanian menjadi alat-alat yang sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari yang dikenal dengan Bioenergi. Seperti penemuan tentang batang pohon karet yang mengandung daya hantar listrik dan bisa dijadikan sebagai charger pada kondisi darurat. Dan penemuan mengenai energi alternatif yang banyak dihasilkan dari produk pertanian. Bila dikembangkan dengan penelitian yang berkelanjutan, penemuan-penemuan ini merupakan potensi baru sebagai penambah devisa negara.
Namun, siapa menduga karena kebijakan ini nyatanya semakin menekankan masalah pangan. Menggerogoti petani dan menambah jumlah kelaparan. Ini adalah sebuah kesalahan prespektif dalam memposisikan peranan agroteknologi. Secara besar-besaran pemerintah menerapkan agroteknologi dari produk pertanian untuk memproduksi energi tanpa memperhatikan situasi pangan dan menyebabkan merosotnya ketersediaan pangan.
Berawal dari niat pemerintah meningkatkan National net production (NNP) dan Personal income (PI), akan tetapi semakin meningkatkan food crisis. Seperti itulah sketsa Indonesia dewasa ini. Pangan merupakan benang kehidupan bagi rakyat. Apabila skenario menyedihkan itu tidak dihentikan, maka terjadilah kehancuran struktural pangan Indonesia.
Essensinya, agroteknologi dalam penafsiran yang lebih bijaksana bisa menjadi alat bantu untuk meningkatkan produktivitas pangan. Seorang ilmuan pemuliaan tanaman asal rusia, Vavilov, mengatakan, “Sebuah tanaman tidak hanya mengandung energi terpenting dalam kehidupan berupa glukosa, tetapi setiap unsur dan molekul yang terdapat dalam sebuah tanaman bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat..”. Dari filosofi Vavilov bisa ditarik sebuah kesimpulan membangun bahwa sumber daya alam harus senantiasa dilestarikan dengan mengembangkan subtansi-subtansi teknologi. Sehingga secara tidak langsung mewujudkan kemandirian pangan.
Petani letih menanti kebijakan. Mereka pun pantas sejahtera. Kelak, agroindustri berbasis teknologi ini akan sangat bermanfaat untuk generasi masa depan. Sehingga tidak akan terdengar lagi dentuman-dentuman jeritan rakyat karena kelangkaan pangan di negeri ini. Semoga!******