the real of agroeducation

the real of agroeducation
Can be Change!

konsep diri itu penting!

memaksimalkan potensi, itulah amanah dari Tuhan.

Sabtu, Agustus 14, 2010

LOMBA ESSAI KEAMANAN TRANSPORTASI UMUM DI INDONESIA, ESSAY COMPETITION OF UNIVERSITY OF INDONESIA, "Revitalisasi Peran Sopir Untuk Keamanan Transportasi Umum Di Indonesia"

“Saatnya pemerintah memerhatikan pengemudi yang soleh, cerdas, dan mampu selamatkan jiwa, serta berperan aktif dalam memajukan Indonesia!”
a. Problematika kecelakaan transportasi umum mengancam Indonesia dalam gerakan menyetak sumber daya manusia berkualitas.
Bumi agraria Indonesia terbentang luas dengan sederet kekayaan, kemolekan, dan keasrian panorama alamnya yang mahadahsyat. Indonesia yang asri terlihat jelita karena sangat megah akan subtansi ekosistem biotik yang terhampar di seluruh wilayah Indonesia. Secara logis ini merupakan sketsa negara yang makmur dan lohjenawi. Namun sejatinya, keunggulan yang paling berharga yang dimilki Indonesia ini adalah jumlah penduduknya yang melimpah, dan memiliki potensi-potensi berbeda. Sejatinya pula, kapasitas sumberdaya manusia yang melimpah ini bila potensi-potensinya di maksimalkan bisa menjadi kekuatan yang dahsyat untuk membangun Indonesia. Kemegahan sumberdaya alam yang terbatas itu seolah menjadi ‘hiasan dalam negeri’, disaat sumberdaya manusianya tidak mampu memanfaatkannya. Untuk itu, demi memajukan Indonesia perlu sumberdaya manusia yang berkualitas, sumberdaya manusia yang mampu memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas menjadi suatu daya yang tak terbatas.
Dewasa ini, pemerintah Indonesia sudah berusaha mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas, beragam program kepemerintahan menyangkut pendidikan Indonesia pun direalisasikan. Namun, disaat program-program tersebut gencar direalisasikan, Indonesia justru terancam gagal. Problema yang mengancam sumberdaya manusia seperti bencana alam, isu terorisme, pergaulan bebas, bahkan kasus kecelakaan transportasi telah merenggut jutaan jiwa dan menyebabkan kerugian material yang tidak sedikit. Problema ini secara tidak langsung mengancam program pemerintah dalam menyetak sumberdaya manusia berkualitas itu. Bayangkan, bila diantara jutaan jiwa korban salah satu problema yang mengancam sumberdaya manusia tersebut, terdapat setidaknya sepuluh orang yang ternyata memilki kecerdasan very superior, alangkah disayangkan menilik Indonesia sedang dilanda krisis pememipin Indonesia yang berkualitas. Sudah berapa banyak pelajar, mahasiswa, bahkan pendidik yang menjadi korban. Bahkan dari data korban dan pelaku kecelakaan di Indonesia didominasi oleh siswa SLTA sebanyak 61,10%.
b. Keamanan transportasi sangat essensial bagi bangsa.
Diantara problema yang mengancam sumberdaya manusia tersebut, problema yang terkadang menjadi perhatian publik, namun seiring waktu begitu mudah dilupakan adalah masalah kecelakaan transportasi. Parahnya, intensitas kasus kecelakaan transportasi umum semakin hari semakin meningkat, namun pemerintah sepertinya tetap bergeming, dan selalu menyatakan kecelakaan transportasi di Indonesia masih dalam batas wajar. Namun, jika melihat data statistik, kecelakaan transportasi di Indonesia tergolong penyebab kematian terbesar ke-4 penduduk Indonesia. Secara kontinyu di Jawa tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta setidaknya 7 jiwa perhari penduduk Indonesia yang tewas akibat kecelakaan transportasi. Bahkan, Indonesia menempati peringkat atas yang memilki kasus kecelakaan transportasi terbanyak se-asia tenggara. Realita ini secara tidak langsung menumbuhkan rasa kekhawatiran bagi siapa pun juga yang hendak melakukan transportasi di Indonesia.
Problema transportasi di Indonesia tidak hanya menjadi permasalahan yang mengancam sumberdaya manusia yang menyangkut keamanan bagi rakyat, namun meluas menjadi permasalahan eksternal menyangkut hubungan luar negeri. Keamanan menjadi pertimbangan utama masyarakat dari luar negeri, baik wisatawan maupun pejabat dari luar negeri, ketika hendak berkunjung ke Indonesia. Salah satu pertimbangan keamanan yang diperhatikan adalah keamanan transportasi. Kejadian kecelakaan kapal laut, pesawat hilang, bahkan kecelakaan lalu lintas serasa menjadi momok.
Transportasi juga merupakan tolak ukur konsistensi pemerintah dalam memfasilitasi rakyat. Kenyamanan melakukan transportasi merupakan bentuk kesuksesan kinerja pemerintah. Padahal, pemerintah telah berjanji akan memfasilitasi transportasi, seperti yang dikemukakan Direktur Keselamatan Transportasi Darat, dalam rekornis bidang perhubungan darat, bahwa urusan pemerintah di bidang sarana dan prasarana keselamatan lalu lintas jalan (LLAJ) dan jalan dipertanggungjawabkan kepada kementerian yang bersangkutan.
Ironis memang, dampak realisasi dari janji pemerintah masih sangat rendah. Beberapa program perbaikan alur transportasi yang bermaksud mengurangi intensitas kecelakaan, seperti pembangunan jalan tol, jalan layang, pengadaan trotoar, sampai pengadaan polisi tidur disetiap jalan kecil sepertinya belum mampu menekan penurunan kasus kecelakaan di Indonesia. Sejatinya, mungkin ada satu yang terlupakan oleh pemerintah dalam program pengurangan kecelakaan transportasi, yaitu terlupa memikirkan siapa yang sebenarnya menjadi penyebab utama kecelakaan? siapa pula penyebab utama keberhasilan dalam mobilitas transportasi? Yah, ialah sang sopir. Sebab, sedimikian rupa fasilitas transportasi terus diperbaiki, termasuk dengan penerapan teknologi, tetap saja tidak maksimal jika pemeran utama transportasi tersebut justru diabaikan.
c. Pengaruh mentalitas sopir terhadap intensitas kecelakaan transportasi umum.
Hampir sebagian besar kasus kecelakaan lalu lintas penyebab utamanya adalah kelalaian sopir. Jika ditelaah lebih baik, ternyata sebagian besar sopir kendaraan umum di Indonesia berusia sekitar 50 tahun. Bahkan, dikawasan Kota Bogor banyak dijumpai sopir angkot yang masih remaja, dengan usia sekitar 17 tahun. Hal yang bertolak belakang dengan kenyataan bahwa idealnya seorang sopir angkutan umum berusia 20-30 tahun. Sebab, menurut psikolog, pada usia 20-30 dianggap sopir akan lebih berhati-hati, tidak rentan kecelakaan seperti sopir yang masih remaja atau yang usianya sudah lanjut. Sampel dari kota madiun, terdapat data sebanyak 39,12% korban dan pelaku kecelakaan umum berusia 36-55.
Disamping faktor usia yang seringkali menyebabkan banyak kecelakaan, faktor mentalitas sopir juga luput dari perhatian pemerintah. Banyak dari kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan sopirnya sedang mengalami strees, bahkan dalam keadaan mabok namun tetap mengemudi. Realita ini juga sepatutnya menjadi bahan koreksi pemerintah.
Pemerintah sendiri telah mengeluarkan peraturan lalu lintas disertai hukuman bagi pelanggar. Berharap akan mengurangi intensitas kecelakaan, namun realitasnya justru sebaliknya, intensitas kecelakaan semakin meningkat, dan banyak sopir tidak mengyang mengancam sumberdaya manusiaisasikan peraturan tersebut. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah melakukan suatu perubahan sikap yang lebih mendekati psikis para sopir. Sehingga suatu saat nanti bisa menentukan kebijakan yang lebih tepat.
d. Saatnya sopir transportasi umum di Indonesia lebih dihargai oleh pemerintah.
Selama ini, mungkin diantara kita dan pemerintah, sering menganggap profesi sopir hanya sebatas jasa saja. Tidak pernah ada pengakuan bahwa profesi sopir adalah profesi yang membutuhkan komitmen tinggi, dasar keinginan menolong sesama yang kuat, bahkan profesi yang bisa berkontribusi secara langsung dalam keamanan negara, dan menyukseskan program pemerintah dalam menyetak dan memertahankan sumberdaya manusia strategis. Seharusnya ini membuat pemerintah lebih memerhatikan sopir. Jika belajar dari negara Jepang dan Belanda, sopir selalu mendapat perhatian dari pemerintah karena peranannya untuk negara. Di jepang seringkali sopir mendapat tunjangan dari pemerintah sebagai bentuk perhatian pemerintah. Bahkan di belanda, sopir mendapat gaji tetap seperti halnya PNS di Indonesia. Pemerintah Belanda dan Jepang seringkali menyebut sopir adalah pahlawan Indonesia. Disebut pahlawan, secara tidak langsung membuat para sopir di Belanda dan Jepang lebih mengutamakan kenyamanan dan keselamatan penumpang, berbeda dengan sopir Indonesia yang mengejar setoran. Pemerintah Belanda dan Jepang berhasil membentuk kualitas sopir yang menakjubkan. Membentuk kualitas sopir yang lebih memakai hati saat mengemudi. Sehingga membuat para sopir merasa dihargai secara moril. Nyatanya, kasus kecelakaan transportasi pun rendah.
Sudah saatnya pemerintah berbenah dan memasang strategi untuk maju. Menyetak dan memertahankan sumberdaya manusia berkualitas adalah solusi terbaik. Salah satunya adalah dengan mengurangi intensitas kecelakaan transportasi yang banyak mengorbankan sumberdaya manusia secara sia-sia. Sopir adalah pemeran utama transportasi yang perlu diperhatikan. Saatnya pemerintah memerhatikan pengemudi yang soleh, cerdas, dan mampu selamatkan jiwa, serta berperan aktif dalam memajukan Indonesia. Masih banyak cara bagi pemerintah Indonesia untuk mengimplementasikan perhatiannya kepada para sopir. Tidak harus menyontek Belanda maupun Jepang dengan memberikan gaji, karena ekonomi Indonesia pun belum stabil.

Senin, Agustus 02, 2010

Draft RUU Hortikultura

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR …TAHUN …

TENTANG

HORTIKULTURA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalam wilayah negara Republik Indonesia adalah anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

1. bahwa salah satu kekayaan alam Indonesia berupa tanaman hortikultura sebagai kekayaan hayati yang sangat penting, sumber pangan bergizi, estetika dan obat-obatan yang bermanfaat dan berperan besar untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat menyangkut aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara berkelanjutan;
2. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada belum dapat memberikan kepastian dalam pengembangan hortikultura sesuai perkembangan dan tuntutan dalam masyarakat;
3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Hortikultura;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HORTIKULTURA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Hortikultura adalah kegiatan yang berkaitan dengan proses perencanaan, pengembangan, perlindungan, usaha, pemberdayaan dan pembiayaan yang berhubungan dengan buah, sayuran, tanaman obat, florikultura, tanaman air, jamur dan lumut.
2. Usaha hortikultura adalah semua kegiatan untuk menghasilkan produk dan/atau menyelenggarakan jasa yang berkaitan dengan buah, sayuran, tanaman obat, florikultura, tanaman air, jamur dan lumut
3. Pewilayahan hortikultura adalah ……..
4. Kawasan hortikultura adalah hamparan sebaran usaha hortikultura yang disatukan oleh faktor pengikat tertentu, baik faktor alamiah, sosial budaya, maupun faktor infrastruktur buatan.
5. Pelaku usaha hortikultura adalah perorangan, kelompok, badan usaha, atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha hortikultura.
6. Sumberdaya genetik hortikultura adalah tumbuhan, organ tumbuhan, jaringan, sel, kromosom dan DNA yang berasal dari tumbuhan lokal maupun hasil introduksi, alami atau hasil rekayasa genetik yang mempunyai nilai nyata atau potensial.
7. Prasarana adalah segala sesuatu yang menjadi penunjang utama usaha hortikultura meliputi irigasi, sistem transportasi, pergudangan, rumah pasca panen, energi, data dan informasi, dan pasar.
8. Sarana adalah segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai alat dan/atau bahan yang dibutuhkan dalam/untuk melakukan kegiatan usaha hortikulura antara lain meliputi benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin.
9. Benih hortikultura adalah tanaman hortikultura atau bagian darinya yang dapat digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman hortikultura, baik secara alami maupun artifisial.
10. Pupuk adalah nutrisi bagi tanaman yang diperoleh dari mineral, enzim, fitohormon atau mikro organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
11. Organisme pengganggu tumbuhan yang selanjutnya disebut OPT adalah semua organisme yang dapat merusak, mengganggu kehidupan, atau menyebabkan kematian tumbuhan.
12. Bahan pengendali OPT adalah bahan kimia sintetik, bahan alami atau bukan sintetik, jasad hidup, dan bahan lainnya yang digunakan untuk mengendalikan OPT dalam usaha hortikultura.
13. Badan adalah…….
14. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat kepada pelaku usaha, produk, proses, dan usaha jasa hortikultura.
15. Varietas tanaman hortikultura adalah bagian dari suatu jenis tanaman hortikultura yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan, daun, bunga, buah, biji, dan sifat-sifat lain yang dapat dibedakan dalam jenis yang sama.
16. Insentif adalah pengakuan/aktualisasi dari pemerintah dapat berupa natura maupun non natura.
17. Perlindungan varietas tanaman hortikultura adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh kantor perlindungan varietas tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.
18. Florikultura adalah meliputi industri greenhouse untuk budidaya bunga, bibit tanaman (seedlings/bedding plants), bunga potong, daun potong, dan tanaman pot termasuk nursery. Adalah usaha dan jasa budidaya bunga…….
19. Wisata agro berbasis hortikultura, yang selanjutnya disebut Wisata agro merupakan kegiatan pengembangan kawasan atau lahan usaha hortikultura sebagai obyek wisata baik secara sendiri atau sebagai bagian dari kawasan wisata yang lebih luas bersama obyek wisata yang lain.
20. Distribusi hortikultura, yang selanjutnya disebut distribusi merupakan kegiatan penyaluran, pembagian, pengiriman produk hortikultura ke beberapa orang atau beberapa tempat.
21. Industri hortikultura adalah kegiatan penanganan dan/atau pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah produk hortikultura.
22. Jasa hortikultura adalah kegiatan berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan produk, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya dari hortikultura yang dapat dinikmati.
23. Kemitraan adalah kerjasama dalam keterkaitan usaha atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat dan menguntungkan yang melibatkan antar pelaku usaha.
24. Lahan usaha (perladangan) hortikultura adalah usaha budidaya dan/atau industri hortikultura yang menggunakan lahan kurang dari lima hektar (5 Hektar).
25. Perkebunan hortikultura adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman buah, sayuran, tanaman obat, florikultura, tanaman air, jamur dan lumut pada tanah dan/ atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
26. Pemuliaan tanaman hortikultura, yang selanjutnya disebut pemuliaan adalah rangkaian kegiatan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas tanaman hortikultura yang sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas tanaman hortikultura baru yang lebih baik.
27. Pertanian berkelanjutan adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan pengelolaan lingkungan hidup dan lahan usaha dengan memperhatikan kesejahteraan masyarakat pertanian.
28. Plasma nutfah hortikultura adalah Substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru hortikultura. (berdasarkan PP No. 44 th 1995 tentang perbenihan tanaman).
29. Pengolahan adalah proses mengubah bahan komoditas hortikultura menjadi suatu bentuk produk turunan.
30. Produk hortikultura adalah semua hasil yang berasal dari tanaman hortikultura yang masih segar dan/atau yang telah diolah untuk keperluan konsumsi, estetika, farmakoseutika dan/atau kegunaan lain.
31. Tanaman hortikultura adalah tanaman yang menghasilkan buah, sayuran, obat alami dan florikultura.
32. Tanaman obat adalah tanaman yang dibudidayakan untuk dikonsumsi atau diolah menjadi bahan obat atau penyegar.
33. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
34. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
35. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi urusan hortikultura, secara langsung maupun tidak langsung.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN

Pasal 2

Penyelenggaraan hortikultura berdasarkan pada asas:

1. kedaulatan;
2. kebermanfaatan;
3. keterpaduan;
4. kebersamaan;
5. keterbukaan;
6. keberlanjutan;
7. keadilan;
8. kelestarian fungsi lingkungan; dan
9. kearifan lokal.

Pasal 3

Penyelenggaraan hortikultura bertujuan untuk:

1. mengelola dan mengembangkan sumberdaya hortikultura secara optimal, bertanggungjawab, dan lestari;
2. memenuhi kebutuhan, keinginan, selera, estetika, dan budaya masyarakat terhadap produk dan jasa hortikultura;
3. meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar;
4. meningkatkan konsumsi produk dan pemanfaatan jasa hortikultura;
5. menyediakan lapangan kerja dan kesempatan usaha;
6. memberikan perlindungan kepada pembudidaya/pelaku usaha dan konsumen hortikultura nasional;
7. menjadi sumber devisa Negara; dan
8. meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat;

Pasal 4

Penyelenggaraan hortikultura meliputi:

1. perencanaan;
2. pengembangan;
3. usaha;
4. perniagaan;
5. pemberdayaan;
6. pembiayaan, penjaminan dan penanaman modal;
7. penelitian;
8. pengawasan;
9. pembinaan;
10. sistem informasi;
11. peran serta masyarakat; dan
12. kelembagaan.

BAB III

PERENCANAAN HORTIKULTURA

Pasal 5

(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, penyelenggaraan hortikultura direncanakan dengan merancang tumbuhnya proses perkembangan dan pembangunan hortikultura.

(2) Perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan landasan:

a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi;

b. pertumbuhan ekonomi dan produktivitas;

1. rencana pembangunan nasional dan daerah;

d. rencana tata ruang wilayah dan lingkungan;

e. kebutuhan teknis, ekonomis, dan kelembagaan; dan

1. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

Pasal 6

(1) Perencanaan hortikultura mencakup aspek:

1. pewilayahan hortikultura;
2. prasarana dan sarana;
3. komoditas hortikultura;
4. usaha hortikultura;
5. distribusi, perdagangan, dan pemasaran;
6. penetapan sasaran dan peningkatan konsumsi;
7. penelitian, pengembangan dan penerapan teknologi;
8. sistem informasi;
1. pendidikan dan pengembangan sumberdaya manusia;
2. kelembagaan; dan
1. penanaman modal, pembiayaan, dan penjaminan.

(2) Aspek perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan yang utuh dan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

Pasal 7

Perencanaan hortikultura terdiri atas:

a. perencanaan jangka panjang;

b. perencanaan jangka menengah; dan

c. perencanaan tahunan.

Pasal 8

(1) Perencanaan hortikultura merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan daerah dan perencanaan pembangunan sektoral.

(2) Perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat.

(3) Penyelenggaraan perencanaan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun di tingkat nasional, provinsi, dan/atau kabupaten/kota.

Pasal 9

(1) Perencanaan hortikultura nasional menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan hortikultura provinsi.

(2) Perencanaan hortikultura provinsi menjadi pedoman untuk menyusun perencanaan hortikultura kabupaten/kota.

BAB IV

PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

Bagian Kesatu

Pewilayahan dan Sumberdaya Hortikultura

Paragraf 1

Pewilayahan

Pasal 10

(1) Hortikultura dapat diselenggarakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilaksanakan dalam wilayah tersendiri dan/atau berintegrasi dengan wilayah usaha lainnya.

(2) Penyelenggaraan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang.

(3) Penyelenggaraan hortikultura dengan memanfaatkan ruang wilayah kegiatan tersendiri dan/atau berintegrasi dengan ruang wilayah kegiatan lain.

Pasal 11

(1) Penetapan tata ruang wilayah dalam kaitan dengan pengembangan hortikultura harus menjamin terpeliharanya kelestarian sumberdaya alam dan keselamatan masyarakat serta tidak menimbulkan gangguan pada kegiatan lain.

(2) Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah yang mengakibatkan penggusuran ruang pengembangan hortikultura, harus disediakan terlebih dahulu ruang lain yang setara.

Pasal 12

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah memfasilitasi penyelenggaraan hortikultura yang bertumpangsari dengan tanaman lain atau berintegrasi dengan kegiatan lain di wilayah sama.

(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:

1. Kemudahan perijinan; dan
2. pemanfaatan lahan.

Paragraf 2

Kawasan hortikultura

Pasal 13

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura.

Pasal 14

Untuk mengembangkan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13:

1. pemerintah menetapkan kawasan hortikultura nasional.
2. pemerintah provinsi menetapkan kawasan hortikultura propinsi;
3. pemerintah kabupaten/kota menetapkan kawasan hortikultura kabupaten/kota.

Pasal 15

Penetapan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib:

a. melengkapi dengan prasarana sekurang-kurangnya meliputi: irigasi dan drainase, perhubungan dari dalam dan ke area kawasan, dan energi.

b. memberikan kemudahan pelayanan dalam pengembangan kawasan hortikultura.

c. menjamin keamanan kawasan hortikultura dari gangguan fisik, biologis, dan kimiawi dan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

(1) Pengembangan kawasan hortikultura diusahakan secara terpadu dari unsur pembangunan prasarana dan sarana, kelembagaan, keekonomian

(2) Pengembangan kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggungjawab pemerintah dengan melibatkan peran serta pelaku usaha.

Pasal 17

Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan hortikultura diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Paragraf 3

Perkebunan Hortikultura

Pasal 18

(1) Perkebunan hortikultura merupakan kegiatan usaha budidaya dan/atau industri hortikultura.

(2) Perkebunan hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

1. perkebunan hortikultura besar;
2. perkebunan hortikultura menengah; dan
3. perkebunan hortikultura kecil.

(3) Perkebunan hortikultura besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menggunakan lahan lebih dari 30 (tigapuluh) hektar

(4) Perkebunan hortikultura menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b menggunakan lahan 5 (lima) hektar sampai dengan 30 (tigapuluh) hektar

(5) Perkebunan hortikultura kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c menggunakan lahan kurang dari (5) hektar

Pasal 19

(1) Perkebunan besar hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a wajib dilengkapi dengan Hak Guna Usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan .

(2) Perkebunan menengah hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b wajib dilengkapi dengan Izin Usaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.

(3) Perkebunan kecil hortikutura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c wajib didaftarkan ke kabupaten/kota.

Paragraf 4

Sumberdaya Hortikultura

Pasal 20

Sumberdaya hortikultura meliputi:

1. sumberdaya hayati;
2. sumberdaya lahan dan air;
3. sumberdaya manusia; dan
4. sumberdaya buatan.

Pasal 21

Sumberdaya hayati yang berupa sumberdaya genetik hortikultura harus dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

(1) Pemerintah wajib mendaftar dan mengarsipkan materi genetika hortikultura.

(2) Pendaftaran dan pengarsipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bekerjasama dengan pihak swasta nasional.

Pasal 23

(1) Sumberdaya genetik hortikultura yang terancam punah dilarang diperdagangkan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sumberdaya genetik yang terancam punah diatur dalam Peraturan Menteri

Pasal 24

(1) Pemerintah harus memberikan kemudahan untuk pengayaan sumber daya genetik hortikultura nasional melalui berbagai cara dan introduksi dari luar negeri.

(2) Kepemilikan, pemanfaatan dan tukar menukar sumber daya genetik hortikultura dalam rangka kegemaran, sosial, dan kemanusiaan perlu diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 25

Sumberdaya alam yang dapat dipergunakan antara lain berupa air, tanah, atau media tumbuh lainnya.

Pasal 26

Penggunaan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan berdasarkan kebutuhan dan persyaratan baku mutu air sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 27

Pemerintah dan pemerintah daerah menetapkan rencana alokasi dan hak guna pakai air bagi kebutuhan usaha hortikultura.

Pasal 28

(1) Air dari sumber yang ada atau sistem irigasi yang tersedia dapat digunakan bersama-sama oleh pelaku usaha.

(2) Penggunaan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kaidah konservasi air dan penerapan kaidah pertanian berkelanjutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan/atau kawasan, pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur kebutuhan air secara berkeadilan.

Pasal 29

Pelaku usaha hortikultura harus meningkatkan efisiensi penggunaan air dengan tetap memperhatikan keberhasilan produksi dan mutu.

Pasal 30

(1) Sumberdaya alam hortikultura yang berupa tanah atau media tumbuh lainnya harus dilindungi, dipulihkan, ditingkatkan, dan diperlihara fungsinya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemerliharaan fungsi tanah atau media tumbuh lainnya diatur Peraturan Menteri.

Pasal 31

(1) Pengembangan sumber daya manusia hortikultura wajib dilakukan dengan mengutamakan pemanfaatan sumberdaya manusia dalam negeri,

(2) Pemanfaatan sumberdaya manusia asing dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keahlian dan kemampuannya di bidang hortikultura

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kualifikasi keahlian dan kemampuan di bidang hortikultura diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua

Prasarana

Pasal 32

(1) Penyelenggaraan hortikultura dilaksanakan dengan menggunakan sistem dan prasarana:

1. pengairan yang mendukung pengembangan hortikultura;
2. transportasi yang cepat, tepat dan efisien;
3. pergudangan yang dapat mempertahankan mutu produk;
4. pergudangan yang memenuhi persyaratan teknis untuk mempertahankan mutu produk;
5. rumah pasca panen untuk melakukan pembersihan, pemilahan, pengkelasan dan pengemasan;
6. energi yang handal untuk keperluan budidaya, pascapanen dan pengolahan;
7. data dan informasi yang sahih, akurat, tepat waktu dan mudah diakses; dan
8. pasar yang layak sesuai dengan pola, metode, prosedur, dan karakteristik pemasaran produk hortikultura.

(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pembangunan sistem dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara terintegrasi dan terencana.

Bagian Ketiga

Sarana dan Teknologi

Pasal 33

(1) Penyelenggaraan hortikultura dilaksanakan dengan menggunakan sarana dan teknologi:

1. benih yang unggul dan efisien;
2. pupuk yang efisien dan ramah lingkungan;
3. bahan pengendali OPT yang ramah lingkungan;
4. alat dan mesin yang menunjang hortikultura;

(2) Penyelenggaraan hortikultura sebagimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan penggunaan sarana dan teknologi dari dalam negeri.

(3) Dalam hal sarana dan teknologi dari dalam negeri tidak mencukupi, maka dapat digunakan sarana dan teknologi hortikultura yang berasal dari luar negeri.

(4) Sarana dan teknologi yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mengandung komponen hasil produksi dalam negeri.

(5) Produsen dan/atau distributor alat dan mesin hortikultura harus memberikan jaminan, pelatihan penggunaan, keselamatan, pemeliharaan dan perbaikan alat dan mesin.

Pasal 34

(1) Pemerintah memfasilitasi pengadaan sarana dan teknologi berasal dari luar negeri yang belum dapat diproduksi di dalam negeri.

(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain berupa keringanan pajak dan kemudahan perizinan.

Pasal 35

(1) Pemerintah menetapkan benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin serta komponennya yang boleh beredar untuk penyelenggaraan hortikultura.

(2) Benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin serta komponennya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diedarkan harus didaftarkan dan memenuhi standar mutu yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap mutu benih, pupuk, bahan pengendali OPT, dan alat dan mesin serta komponennya yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 36

(1) Produsen, distributor dan pengecer, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, harus bertanggungjawab atas mutu benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin serta komponennya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggungjawab atas mutu benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 37

Pengadaan, peredaran, dan penggunaan benih, pupuk, bahan pengendali OPT, atau alat dan mesin serta komponennya dan teknologi harus memperhatikan keselamatan masyarakat, sistem budidaya tanaman, sumberdaya alam lainnya, dan/atau fungsi lingkungan.

BAB V

USAHA HORTIKULTURA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 38

(1) Usaha hortikultura meliputi :

1. perbenihan;
2. budidaya;
3. panen dan pascapanen;
4. pengolahan; dan
5. wisata agro.

(2) Usaha hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh setiap pelaku usaha.

Pasal 39

(1) Usaha hortikultura sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus didaftarkan.

(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan/atau pelaku usaha

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran usaha hortikultura diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 40

(1) Usaha hortikultura terdiri dari usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar.

(2) Kriteria usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan lebih dari kriteria usaha menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 41

(1) Usaha hortikultura mikro dan kecil hanya dapat diselenggarakan oleh pelaku usaha dalam negeri.

(2) Usaha hortikultura menengah dapat diselenggarakan oleh pelaku usaha dalam negeri dan/atau berpatungan dengan pelaku usaha asing. {dengan penyertaan modal asing maksimal (49%) (51%) (65%) (95%)}

(3) Usaha hortikultura besar dapat diselenggarakan oleh pelaku usaha dalam negeri maupun badan usaha asing

Pasal 42

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengutamakan:

1. usaha mikro, kecil dan menengah;
2. usaha hortikultura yang ramah lingkungan;
3. usaha hortikultura yang mengembangkan komoditas unggulan nasional dan daerah;
4. usaha budidaya organik; dan/atau
5. usaha hortikultura yang menggunakan teknologi yang efisien

(2) Pengutamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa fasilitasi dan insentif

(3) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:

1. kemudahan perijinan;
2. pemanfaatan lahan; dan
3. penjaminan usaha mikro, kecil dan menengah.

(4) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain:

1. keringanan pajak dan retribusi;
2. sertifikasi;
3. penghargaan; dan

d. pembiayaan penerbitan sertifikat tanah khusus untuk usaha mikro, kecil dan menengah.

Bagian Kedua

Usaha Perbenihan

Pasal 43

(1) Usaha perbenihan dilakukan melalui upaya pemuliaan untuk menghasilkan varietas dan/atau perbanyakan materi tumbuhan.

(2) Setiap varietas yang diedarkan wajib didaftarkan.

(3) Setiap varietas yang didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditujukan untuk melindungi pemulia dan pengguna varietas.

Pasal 44

Pendaftaran dan perlindungan varietas tanaman dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

(1) Pelepasan dan peredaran varietas yang sudah terdaftar menjadi tanggungjawab pemilik varietas atau kuasanya.

(2) Pemilik varietas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberitahukan mengenai pelepasan varietas kepada pemerintah.

Pasal 46

Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengembangkan usaha perbenihan berbasis sumberdaya genetik nasional.

Pasal 47

(1) Pemerintah menetapkan standar, melakukan akreditasi atas kelayakan, dan melakukan pengawasan terhadap usaha perbenihan hortikultura.

(2) Standarisasi, akreditasi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga

Budidaya

Pasal 48

(1) Usaha budidaya hortikultura dilakukan dengan memperhatikan:

1. permintaan pasar;
2. sistem budidaya yang baik ;
3. efisiensi dan daya saing;
4. fungsi lingkungan; dan
5. kearifan lokal.

(2) Ketentuan mengenai sistem budidaya yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam dengan Peraturan Menteri.

Pasal 49

(1) Pelaku usaha budidaya hortikultura dapat menentukan sendiri pilihan jenis tanaman.

(2) Pelaku usaha budidaya melaporkan jenis dan jumlah tanaman yang sedang dan akan dibudidayakan kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk pendataan perkiraan produksi.

Pasal 50

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib memberikan informasi pasar dan perkiraan produksi sebagai acuan untuk melaksanakan budidaya tanaman hortikultura.

(2) Pemerintah mengembangkan dan membina budidaya hortikultura yang baik untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing.

Pasal 51

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan budidaya jenis tanaman hortikultura yang merugikan kesehatan masyarakat.

(2) Pelarangan budidaya jenis tanaman hortikultura sebagimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(3) Budidaya jenis tanaman hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan ijin khusus dari Menteri.

(4) Ketentuan mengenai ijin khusus diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat

Panen, Pasca Panen dan Pengolahan

Paragraf 1

Panen

Pasal 52

(1) Panen hortikultura harus dilakukan tepat waktu, tepat keadaan, tepat cara, dan tepat sarana.

(2) Ketentuan mengenai pemanenan buah, sayuran, tanaman obat, florikultura, tanaman air jamur dan lumut-lumutan dapat diatur dalam Peraturan Menteri

Paragraf 2

Pascapanen

Pasal 53

(1) Pascapanen meliputi kegiatan antara lain:

1. pembersihan;
2. pencucian;
3. pengeringan;
4. pengupasan;
5. sortasi;
6. pengkelasan;
7. pengolahan primer;
8. pengawetan;
9. pengemasan; dan
10. penyimpanan.

(2) Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran, menekan kehilangan dan/atau kerusakan, dan meningkatkan nilai tambah.

(3) Kegiatan pascapanen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di rumah pascapanen atau di tempat yang memenuhi persyaratan sanitari.

(4) Rumah pascapanen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib didaftarkan.

Pasal 54

(1) Pemerintah menetapkan pedoman dan melakukan pengawasan kegiatan pascapanen.

(2) Pemerintah atau lembaga terakreditasi menyelenggarakan akreditasi dan sertifikasi atas kelayakan kegiatan pascapanen.

(3) Pedoman, akreditasi dan sertifikasi, pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 3

Pengolahan

Pasal 55

(1) Pengolahan meliputi kegiatan memproses produk hortikultura menjadi produk olahan hortikultura.

(2) Kegiatan pengolahan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kelima

Pola Usaha

Pasal 56

(1) Pola usaha hortikultura dapat dilakukan dengan kemitraan.

(2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan pelaku usaha mikro, kecil, menengah dan besar.

(3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk kontrak budidaya, bagi hasil, dan kerjasama operasional.

Pasal 57

Badan usaha asing yang menyelenggarakan usaha hortikultura besar wajib menjalankan kemitraan dengan pelaku usaha dalam negeri.

Bagian Keenam

Wisata agro

Pasal 58

(1) Kawasan hortikultura dapat digunakan sebagai kawasan wisata agro.

(2) Wisata agro diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, pelaku usaha dalam negeri baik secara sendiri maupun bersama-sama.

(3) Pelaku usaha asing dapat menyelenggarakan wisata agro bekerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau pelaku usaha dalam negeri.

(4) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus mengikutsertakan masyarakat setempat.

Pasal 59

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah mengatur penetapan kawasan, pembinaan, dan pengawasan wisata agro.

(2) Penetapan kawasan wisata agro sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempertimbangkan aspirasi masyarakat setempat.

(3) Pemerintah menetapkan norma, standar, pedoman dan kriteria wisata agro.

Pasal 60

Penyelenggaraan wisata agro harus memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan dan kearifan lokal

BAB VI

PERNIAGAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 61

(1) Perniagaan hortikultura meliputi kegiatan distribusi, perdagangan dan pemasaran hortikultura.

(2) Perniagaan hortikultura dilakukan sesuai dengan peraturan persaingan usaha yang sehat.

(3) Perniagaan hortikultura ditujukan untuk melindungi pembudidaya dan produk dalam negeri

(4) Pemerintah membangun sistem perniagaan hortikultura yang menjamin perlindungan terhadap pembudidaya dengan berdasarkan prinsip ekonomi

Pasal 62

(1) Produk segar hortikultura harus mempertimbangkan aspek keamanan antara lain :

a. tingkat residu pestisida, bahan pengawet, dan OPT;

b. kelayakan konsumsi.

(2) Pemerintah mengawasi keamanan produk segar hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Bagian Kedua

Distribusi

Pasal 63

(1) Distribusi produk hortikultura meliputi kegiatan penyimpanan, bongkar muat, transportasi, penggelaran.

(2) Distribusi produk hortikultura harus dilakukan dengan cermat, tepat, cepat dan efisien untuk menjaga kesegaran, mutu dan kebutuhan pasar.

(3) Ketetapan mengenai standar penanganan dan transportasi yang baik dibuat oleh Menteri.

(4) Distribusi produk hortikultura harus dicatat untuk keperluan pendataan dan penelusuran balik.

(5) Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib memberikan fasilitasi dan pembinaan untuk menjamin efektivitas distribusi produk hortikultura.

Pasal 64

(1) Pemerintah menyelenggarakan sistem distribusi yang mampu mengalirkan produk hortikultura dari pembudidaya sampai ke konsumen secara cepat dan efisien.

(2) Pemerintah dan pemerintah daerah bersama-sama menjamin kelancaran sistem distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Ketiga

Perdagangan

Pasal 65

(1) Perdagangan hortikultura meliputi perdagangan produk dan jasa.

(2) Perdagangan produk dan jasa hortikultura dapat dilakukan dalam berbagai model transaksi yang menguntungkan para pihak yang bertransaksi.

Pasal 66

(1) Pedagang produk hortikultura dibagi dalam kelas sebagai berikut:

1. Pedagang ekspor/impor
2. Pedagang perantara
3. Pedagang besar
4. Pedagang kecil
5. Pedagang pengecer

(2) Produk, jasa, dan teknologi hortikultura yang masuk ke wilayah Indonesia untuk keperluan komersial harus:

a. sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. mendapatkan izin dari Menteri yang terkait;

c. memenuhi persyaratan standar mutu yang ditentukan oleh pemerintah;

d. membayar pajak hortikultura yang jumlahnya ditentukan oleh pemerintah; dan

e. mempekerjakan tenaga ahli dari Indonesia

(3) Izin dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan setelah mendapat rekomendasi menteri yang menangani urusan pertanian.

(4) Teknologi hortikultura yang masuk ke Indonesia harus disertai dengan suku cadang dan fasilitas perbaikan.

Pasal 67

(1) Produk, jasa, dan teknologi hortikultura yang keluar dari wilayah Indonesia untuk keperluan non-komersial harus:

a. sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

b. dilengkapi izin dari Menteri yang terkait.

(2) Produk, jasa, dan teknologi hortikultura yang keluar dari wilayah Indonesia untuk keperluan komersial harus:

a. sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

b. dilengkapi izin dari Menteri yang terkait.

Bagian Ketiga

Pemasaran

Pasal 68

(1) Untuk menunjang penyelenggaraan pemasaran produk dan/atau jasa hortikultura, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib:

1. membangun sistem pemasaran yang efektif dan efisien;
2. menjaga keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan produk hortikultura nasional; dan
3. menyelenggarakan pasar lelang untuk komoditas hortikultura primer prioritas.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai komoditas hortikultura primer prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Peraturan Menteri

Pasal 69

(1) Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mendorong konsumsi dan penggunaan produk hortikultura lokal.

(2) Setiap pasar tradisional maupun pasar modern di kabupaten/kota wajib mengutamakan penjualan dan menyediakan fasilitas pemasaran produk hortikultura lokal.

(3) Penyediaan fasilitas pemasaran produk hortikultura lokal di pasar tradisional dibantu oleh Pemerintah Kabupaten/kota.

(4) Produk hortikultura lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi standar mutu produk.

(5) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memberikan insentif kepada pasar tradisional dan pasar modern yang mengutamakan penjualan dan menyediakan fasilitas pemasaran produk hortikultura lokal

Pasal 70

Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah wajib melakukan promosi hortikultura Indonesia di dalam dan ke luar negeri.

BAB VII

PEMBERDAYAAN HORTIKULTURA

Pasal 71

(1) Pemberdayaan usaha hortikultura diutamakan bagi pelaku usaha kecil.

(2) Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya.

(3) Pemberdayaan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah serta pemangku kepentingan lainnya harus memperhatikan kearifan lokal dan kebutuhan masyarakat setempat.

Pasal 72

(1) Pemberdayaan usaha hortikultura sebagaimana dimaksud pada Pasal 71 meliputi:

1. penguatan kualitas sumberdaya manusia;
2. menciptakan fasilitasi akses kepada lembaga pembiayaan/permodalan;
3. penyediaan informasi, penguasaan teknologi, serta pengembangan usaha dan pasar;
4. pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan usaha;
5. fasilitasi kelembagaan pembudidaya dan usaha hortikultura;
6. pembinaan kemitraan dalam meningkatkan sinergi antar pelaku usaha;
7. penciptaan iklim usaha yang kondusif dan/atau meningkatkan kewirausahaan;
8. fasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran;
9. perlindungan produk dan jasa hortikultura dari produk dan jasa hortikultura luar negeri.
10. penyelenggaraan asuransi atas kegagalan usaha; dan
11. pemberian insentif bagi pengembangan usaha hortikultura dengan tujuan khusus

(2) Pemberdayaan usaha hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf h, dapat dilakukan oleh pelaku usaha besar dan menengah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan usaha hortikultura diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 73

(1) Pemerintah mengeluarkan sertifikat profesi untuk orang perseorangan yang memiliki keahlian usaha hortikultura secara autodidak.

(2) Tata cara mendapatkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri

Pasal 74

(1) Pemerintah dan Pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi pelaku usaha yang mengembangkan usaha hortikultura dengan tujuan khusus,

(2) Bentuk insentif pengembangan hortikultura untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 75

(1) Badan hukum asing, melalui Pemerintah, dapat turut serta melakukan pemberdayaan usaha hortikultura.

(2) Pemberdayaan usaha hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

1. penguatan kualitas sumberdaya manusia;
2. pemberian bantuan teknik penerapan teknologi dan pengembangan usaha; dan
3. fasilitasi pelaksanaan promosi dan pemasaran.

BAB VIII

PENANAMAN MODAL

Pasal 76

(1) Pemerintah wajib mendorong penanaman modal dalam usaha hortikultura, baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing.

(2) Penanaman modal harus memperoleh izin usaha hortikultura dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempertimbangkan Pasal 6.

Pasal 77

(1) Pemerintah mengutamakan penanaman modal dalam negeri.

(2) Pemerintah dapat memberikan kemudahan bagi penanaman modal dalam negeri.

Pasal 78

(1) Penanaman modal asing dalam usaha hortikultura harus melibatkan pelaku usaha dalam negeri.

(2) Penanaman modal asing harus mengutamakan kebutuhan konsumsi pangan dan penggunaan produk hortikultura nasional.

(3) Penyertaan modal asing dalam usaha hortikultura dibatasi sampai sebesar-besarnya empat puluh sembilan persen.

BAB IX

PEMBIAYAAN DAN PENJAMINAN

Bagian Kesatu

Pembiayaan

Pasal 79

(1) Pembiayaan penyelenggaraan hortikultura, yang dilakukan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau sumber dana lainnya yang sah.

(2) Pembiayaan pemberian insentif dalam penyelenggaraan hortikultura dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari pelaku usaha dan masyarakat.

Bagian Kedua

Penjaminan

Pasal 80

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertindak sebagai penjamin kepada lembaga keuangan untuk memperoleh kemudahan modal bagi pelaku usaha hortikultura kecil.

(2) Lembaga keuangan memberikan bantuan teknis bagi pelaku usaha hortikultura kecil yang akan mengajukan kredit.

Pasal 81

(1) Setiap pelaku usaha hortikultura yang menyimpan produknya dipergudangan dapat memperoleh resi gudang sesuai peraturan perundang-undangan.

(2) Resi gudang dapat dialihkan, dijadikan jaminan utang, atau digunakan sebagai dokumen penyerahan barang.

(3) Resi gudang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dijadikan jaminan utang sepenuhnya tanpa dipersyaratkan adanya agunan lainnya.

Pasal 82

Lembaga keuangan wajib menerima resi gudang sebagai jaminan utang.

Pasal 83

(1) Untuk mengembangkan usaha hortikultura pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat membentuk lembaga pembiayaan mikro bagi hortikultura, baik dengan system konvensional maupun syariah.

(2) Sumber pembiayaan untuk pembentukan lembaga pembiayaan mikro bagi hortikultura bersumber dari:

a. APBN dan/atau APBD sebagai stimulan;

b. pelaku usaha hortikultura; dan/atau

c. sumber dana lainnya yang sah.

(3) Pembentukan lembaga pembiayaan mikro bagi hortikultura diprakarsai oleh Menteri.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga pembiayaan mikro diatur dengan peraturan pemerintah.

BAB IX

PENELITIAN

Pasal 84

(1) Pemerintah dan Pemerintah daerah wajib menyelenggarakan penelitian hortikultura.

(2) Penelitian hortikultura dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha, lembaga pendidikan, dan masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama.

Pasal 85

(1) Kegiatan penelitian hortikultura dilakukan mulai dari perbenihan, budidaya, panen, pasca panen, hingga pengolahan.

(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang tidak membahayakan kesehatan manusia, merusak keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan hidup.

Pasal 86

(1) Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang melakukan penelitian hortikultura di Indonesia wajib mendapatkan izin dari Menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

(2) Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan penelitian harus bekerja sama dengan peneliti atau lembaga penelitian dalam negeri.

Pasal 87

(1) Hasil penelitian yang dilakukan orang perseorangan dan/atau badan hukum asing mengenai usaha perbenihan tidak boleh dibawa ke luar dari wilayah Indonesia dan menjadi hak pemerintah.

(2) Laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diserahkan pada Menteri dan/atau instansi dimana penelitian dilakukan.

Pasal 88

Orang perseorangan dan/atau badan hukum asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) wajib melakukan transfer teknologi dan pengetahuan terkait dengan hasil penelitian yang diperoleh.

Pasal 89

Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengembangkan adanya kerja sama antara lembaga penelitian hortikultura di dalam dan di luar negeri.

Pasal 90

Pemerintah memberikan perlindungan terhadap hasil temuan teknologi di bidang hortikultura sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 91

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah daerah wajib memberikan insentif bagi penelitian hortikultura yang antara lain, menghasilkan varietas tanaman baru, memberikan nilai tambah, menemukan teknologi tepat guna.

(2) Insentif yang diberikan kepada pelaku usaha, lembaga pendidikan, dan/atau masyarakat yang melakukan penelitian hortikultura antara lain:

a. fasilitas laboratorium;

b. bantuan pembiayaan penelitian; dan/atau

1. penghargaan.

BAB X

PENGAWASAN

Pasal 92

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap kegiatan hortikultura, antara lain dalam:

1. perencanaan;
2. pengembangan;
3. usaha;
4. tata niaga;
5. pemberdayaan;
6. penelitian;
7. penanaman modal; dan
8. pembiayaan dan penjaminan.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara berjenjang oleh Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
Pasal 93

Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dapat dilakukan melalui:

a. pelaporan;

b. pemantauan;

c. evaluasi;

Pasal 94

(1) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada Pasal 93 huruf a meliputi kinerja perencanaan, pengembangan, usaha, tata niaga, pemberdayaan, penelitian, penanaman modal, dan pembiayaan dan penjaminan.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi publik yang diumumkan dan dapat diakses secara terbuka oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 95

(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 huruf b dan huruf c dilakukan dengan mengamati dan memeriksa laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2) dengan pelaksanaan di lapangan.

(2) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi penyimpangan, Pemerintah wajib mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 96

Hasil pengawasan dapat dijadikan acuan bagi perencanaan periode berikutnya.

Pasal 97

(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan pengawasan standar mutu produk dan jasa hortikultura.

(2) Petunjuk pelaksanaan pengawasan standar mutu produk dan jasa hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.

BAB XI

PEMBINAAN

Pasal 98

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan hortikultura.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:

1. memasukkan materi hortikultura ke dalam kurikulum pendidikan;
2. menyediakan fasilitas pendidikan hortikultura; dan
3. menyelenggarakan pendidikan kejuruan

(3) Pembinaan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XII

TUGAS DAN WEWENANG

Pasal 99

(1) Dalam penyelenggaraan hortikultura Pemerintah bertugas dan berwenang :

1. menetapkan kebijakan nasional hortikultura
2. menyusun norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang hortikultura;
3. merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura;
4. mendaftar dan mengarsipkan materi genetika hortikultura;
5. mengembangkan SDM hortikultura;
6. membangun prasarana hortikultura;
7. memberikan informasi pasar;
8. memberikan fasilitasi untuk meningkatkan mutu produk;
9. memberikan insentif bagi pelaku usaha;
10. menetapkan standar, melakukan akreditasi atas kelayakan, dan pengawasan terhadap pengolahan hortikultura;
11. memfasilitasi asosiasi usaha hortikultura;
12. memfasilitasi distribusi produk hortikultura;
13. melindungi produsen hortikultura dari pungutan;
14. menyelenggarakan penelitian;
15. menetapkan rencana alokasi dan hak guna pakai air;
16. mengembangkan kerjasama antar lembaga penelitian;
17. melakukan pengawasan terhadap kegiatan hortikultura;

(2) Dalam penyelenggaraan hortikultura pemerintah daerah berwenang :

1. menerbitkan izin usaha perkebunan menengah hortikultura;
2. membangun sistem dan prasarana hortikultura;
3. memberikan informasi pasar;
4. merencanakan dan menetapkan kawasan hortikultura;
5. memberikan fasilitasi untuk meningkatkan mutu produk;
6. memberikan insentif bagi pelaku usaha;
7. memfasilitasi asosiasi usaha hortikultura;
8. memfasilitasi distribusi produk hortikultura;
9. melindungi produsen hortikultura dari pungutan;
10. menyelenggarakan penelitian
11. mengembangkan kerjasama antar lembaga penelitian;
12. menetapkan rencana alokasi dan hak guna pakai air;
13. melakukan pengawasan terhadap kegiatan hortikultura.

BAB XIII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 100

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan hortikultura.

(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara perorangan dan/atau berkelompok.

(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam tahapan:

1. perencanaan;
2. pengembangan;
3. tata niaga;
4. pemberdayaan;
5. penanaman modal;
6. pembiayaan;
7. penelitian;
8. pengawasan;

Pasal 101

Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) dilakukan melalui pemberian usulan, tanggapan, pengajuan keberatan, dan saran perbaikan.

BAB XIV

SISTEM INFORMASI

Pasal 102

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem informasi usaha hortikultura yang dapat diakses oleh pelaku usaha dan masyarakat.

(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud ayat (1) bertujuan sebagai acuan untuk menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan

(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi.

(4) Sistem informasi sekurang-kurangnya memuat data dan informasi tentang:

1. varietas tanaman;
2. letak dan luas wilayah, kawasan, dan perkebunan;
3. permintaan pasar;
4. ketersediaan benih, pupuk, bahan pengendali OPT, alat dan mesin
5. ketersediaan prasarana;
6. produksi;
7. perkiraan musim tanam dan musim panen; dan
8. mekanisme standar mutu.

BAB XV

KELEMBAGAAN

Pasal 103

(1) Setiap pelaku usaha yang bermitra untuk komoditas sejenis wajib membentuk kelompok atau asosiasi baik di tingkat Pusat maupun Daerah.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi kelompok atau asosiasi yang bergerak dalam usaha komoditas sejenis sebagai unggulan daerah masing-masing.

(3) Kelompok atau asosiasi hortikultura yang sejenis menyelenggarakan kegiatan bersama untuk mengendalikan kegiatan usaha masing-masing.

Pasal 104

(1) Untuk mewadahi kelompok atau asosiasi hortikultura baik di tingkat pusat maupun daerah dibentuk Dewan Hortikultura Nasional.

(2) Dewan Hortikultura Nasional yang berkedudukan di pusat merupakan lembaga independen.

Pasal 105

Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok atau asosiasi usaha hortikultura dan Dewan Hortikultura Nasional diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB XVI

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 106

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 27, Pasal 31 ayat (5), Pasal 33 ayat (2), Pasal 35, Pasal 36 ayat (2), Pasal 38, Pasal 42 ayat (2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (2), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (4), Pasal 62 ayat (1), Pasal 65 ayat (1), Pasal 65 ayat (2), Pasal 65 ayat (4), Pasal 66 ayat (1), Pasal 66 ayat (2), Pasal 68 ayat (2), Pasal 68 ayat (4), Pasal 77 ayat (1), Pasal 77 ayat (2), Pasal 81, Pasal 85 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 86 ayat (2), Pasal 87, dan Pasal 101 dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

1. peringatan tertulis;
2. penghentian sementara kegiatan;
3. penutupan usaha;
4. pencabutan izin;
5. penarikan produk dari peredaran; dan/atau
6. denda administratif.

(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi, besarnya denda, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XVII

PENYIDIKAN

Pasal 107

(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, juga pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hortikultura, dapat diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan dalam tindak pidana di bidang hortikultura.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berwenang untuk:

1. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang hortikultura;
2. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang hortikultura;
3. melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang hortikultura;
4. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang hortikultura;
5. membuat dan menandatangani berita acara;
6. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang hortikultura.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberitahukan dimulainya penyidikan dan melaporkan penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 106 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB XVIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 108

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memperdagangkan sumber daya genetik hortikultura yang terancam punah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat, maka pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok.

Pasal 109

Setiap orang perorangan asing atau Badan hukum asing yang dengan sengaja melakukan pemuliaan tanaman bukan untuk keperluan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 110

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan varietas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dan mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat dan/atau kelestarian fungsi lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 111

Setiap pelaku usaha budidaya hortikultura yang dengan sengaja melakukan budidaya jenis tanaman yang merugikan kesehatan masyarakat dan/atau kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 112

Setiap pelaku usaha yang dengan sengaja tidak memenuhi standar unit pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 111

Setiap orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang dengan sengaja melakukan penelitian tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 113

Setiap orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang dengan sengaja membawa hasil penelitian mengenai usaha perbenihan keluar dari wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 114

Setiap orang perseorangan dan/atau badan hukum asing yang dengan sengaja tidak melakukan transfer teknologi dan pengetahuan terkait dengan hasil penelitian yang diperolehnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

.

BAB XIX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 115

Peraturan pelaksana Undang-Undang ini harus telah ditetapkan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 116

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta,

pada tanggal …

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

PATRIALIS AKBAR

curahanku untuk RUU Hortikultura

“SEPEDA IPB”
(Sinergisasi Pemerintah Daerah Dan IPB)
Realisasi Peningkatan Kualitas Petani yang terkandung dalam Tujuan Utama Ruu Hortikultura
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Bumi agraria Indonesia terbentang luas dengan sederet kekayaan, keindahan, dan keasrian alamnya yang mahadahsyat. Indonesia juga merupakan ranah yang menggiurkan bagi industri pertanian. Letak goeografis Indonesia yang tepat berada di jalur katulistiwa, juga menguntungkan bagi varietas-varietas pertanian untuk tetap lestari dan bisa dibudidayakan baik dengan penerapan tradisional maupun penerapan teknologi (agroteknologi). Karena itu, industrialisasi pertanian di Indonesia dewasa ini semakin menaingkat. Dari data statistik pertanian 2010, peningkatan mobilitas industrialisasi pertanian di Indonesia meningkat sebanyak 10% semenjak tahun 2006. Tidak hanya industrialisasi yang meningkat, usaha hortikultura yang identik dengan wirausaha di bidang perkebunan juga meningkat.
Bahkan, peran hortikultura di Indonesia sangat penting karena terkait dengan masalah persediaan pangan. Sehingga peningkatan hortikultura di Indonesia secara tidak langsung telah membantu ketersediaan pangan Indonesia.
Pemerintah pun memberikan perhatian khusus dengan membikin UU UU no 12 tahun 1992. Namun, Ditjen Hortikultura Departemen Pertanian saat ini tengah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) hortikultura terbaru karena UU no 12 tahun 1992 dinilai tidak sesuai untuk komoditas hortikultura. Dirjen Hortikultura, Ahmad Dimyati, di Jakarta, Minggu, mengatakan, UU tentang Sistem Budidaya Tanaman tersebut lebih banyak ditujukan untuk tanaman pangan, terutama padi, sehingga akan menghambat jika diterapkan bagi subsektor hortikultura.
Tujuan utama yang terkandung dalam RUU Hortikultura adalah meningkatkan kualitas petani Indonesia. Salah satu metode untuk merealisasikannya adalah membangun kerjasama antara pemerintah daerah dan perguruan tinggi berbasis pertanian seperti IPB. Metode ini belum sepenuhnya berhasil dan masih perlu perbaikan sistematika sinergisasi sehingga tujuan utamanya tercapai.
I.2 Tujuan
 Memaparkan kekurangan realisasi terhadap permasalahan hortikultura, kerjasama antara pemerintah dan IPB yang sedang berjalan.
 Memaparkan dampak positif sinergisasi pemerintah daerah dan IPB untuk pengembangan hortikultura di Indonesia
 Memberikan gagasan untuk mewujudkan kerjasama antara pemerintah daerah dan IPB yang lebih baik sehingga tujuan utama RUU Hortikultura tercapai.



BAB II
PEMBAHASAN
I. Realisasi pasif pemerintah pusat menghadapi problema hortikultura
a) Problematika pertanian secara luas mengancam laju hortikultura
Berlakunya CAFTA tidak hanya mengganggu kondisi produk di bidang industry seperti elektronik. Selain itu produk-produk kita di bidang pertanian juga sedang terancam. Hal tersebut terkadang tidak kita sadari, tetapi sebelum berlakunya CAFTA pun produk-produk di pertanian juga sudah terganggu dan terancam, tentu saja terancam dalam persaingan pasar baik domestik maupun pasar asing. Kita ambil contoh misalkan betapa menjamurnya buah-buahan seperti jeruk yang berasal dari China (biasa disebut jeruk mandarin) dibandingkan dengan jeruk-jeruk lokal yang jarang kita temukan. Kecenderungan konsumsi konsumen juga sangat berpengaruh. Konsumen di pasar domestik cenderung membeli buah-buahan yang berasal dari luar negeri atau impor dari pada buah-buahan dalam negeri. Fakta yang berada di pasaran yaitu buah-buahan impor lebih murah dan mempunyai daya tarik tersendiri kepada konsumen, misalnya buah-buahan impor dikemas dengan kemasan yang menarik. Dibandingkan produk impor tersebut, produk kita lebih mahal meski harganya tidak jauh berbeda dan kualitas yang sama bahkan lebih baik dari produk impor. Namun produk kita kalah dalam hal edit value produk atau dalam hal mamberi nilai tambah kepada suatu produk untuk menambah nilai jual. Demikian halnya sayur-sayuran dari negera tetangga semakin banyak kita temui terutama di supermarket di kota-kota besar. Jika kita lihat, kemasan produk sayur tersebut lebih menarik dengan kemasan yang lebih rapih, dibungkus dengan plastik kedap udara sehingga terlihat lebih higienis. Sedangkan produk lokal kita jarang yang dikemas, yang sering kita lihat terutama di pasar-pasar tradisional yang biasa kita jumpai.
Hal di atas merupakan salah satu contoh permasalahan bidang pertanian kita. Belum banyak tindakan pemerintah untuk mengurangi permasalahan ini. Produk-produk hortikultura kita tidak dapat dibiarkan begitu saja dalam menghadapi produk impor. Sehingga harus ada sebuah sinergisitas yang mengatur produk-produk pertanian hortikultura baik dalam hal varietas, pemasaran, penjualan, sampai kesejahteraan petani itu sendiri. Salah satu upaya yaitu menjalin sinergisasi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan institusi pendidikan (perguruan tinggi) yang juga memperhatikan bidang ini.
b) Reaksi lamban pemerintah terhadap problematika keterpurukan produk hortikultura.
Dewasa ini, Presiden telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Indonesia (RPPK) untuk mengembangkan produk-produk baru yang terkait dengan berbagai isu global dan kecenderungan pasar global. Terdapat fokus-fokus kegiatan pengembangan hortikultura, yaitu peningkatan produksi, produktivitas dan mutu produk melalui penerapan budidaya pertanian yang baik (Good Agriculture Practices GAP), penerapan manajemen rantai pasokan (Supplay Chaim Management = SCM), fasilitasi terpadu investasi hortikultura (FATIH), dan pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. Pada dasarnya rancangan ini bila direalisasikan setidaknya akan mengurangi intensitas permasalahan hortikultura. Namun, sejatinya uraian diatas masih sebatas wacana dan rancangan pemerintah pusat. Bahkan, RUU Hortikultura yang paling essensial pun sekian lama masih menjadi ‘agenda’. Sementara permasalahan hortikultura yang menyangkut ketersediaan pangan manusia perlu diperhatikan.
II. Prioritas sinergisasi antara pemerintah dan IPB
a) Dukungan IPB terhadap pertanian hortikultura.
IPB sebagai perguruan tinggi pertanian mendukung kebijakan pertanian yang bertujuan mensejahterakan petani, termasuk kebijakan pertanian hortikultura. Salah satu bentuk dukungannya dengan dilaksanakannya kegiatan bina desa yang dilaksanakan oleh BEM KM IPB. Bina Desa bertujuan untuk persiapan membina desa untuk mensinergikan gerakan pembangunan pertanian Indonesia antara pemerintah, perusahaan, masyarakat, dan pers. Salah satu kegiatannya yaitu mengunjungi salah satu desa di kota Bogor yang memiliki potensi hortikultura yang baik namun belum dikembangkan secara optimal. Mahasiswa memberikan penyuluhan kepada petani untuk mengolah tanaman hortikultura tersebut dan membantu memasarkan hasil olahan produk hortikultura tersebut. Penelitian di bidang agronomi dan hortikultura pun sering dilakukan baik oleh mahasiswa maupun dosen. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan varietas baru tanaman hortikultura.
b) Dampak positif dari sinergisasi antara pemerintah daerah dan IPB untuk mewujudkan nilai dan tujuan utama dari RUU Hortikultura
Tujuan pemerintah membuat RUU Holtikultura ialah dalam rangka melindungi tanaman holtikultura Indonesia. Selain itu, RUU Holtikultura juga bertujuan untuk menyejahterakan petani dan rakyat serta penguatan perekonomian nasional. Untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu adanya sinergisasi antara pihak yang bersangkutan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan peneliti. Pemerintah yang membuat atau menetapkan RUU Holtikultura dapat mulai menyosialisasikannya lewat program yang ada di pemerintah daerah. Dengan begitu, tidak hanya lapisan masyarakat tertentu saja yang mengetahui tujuan dari RUU Holtikultura tersebut. Namun petani produsen pun akan mengetahui hal tersebut. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan kinerja petani akan lebih baik dari sebelumnya karena ini semua menyangkut kesejahteraan petani.
Sejalan dengan hal tersebut, petani perlu saling berinteraksi dengan para akademisi dan peneliti dari beberapa Perguruan Tinggi, contohnya, Institut Pertanian Bogor yang banyak mencetak para lulusan di bidang pertanian dengan spesialisasi tertentu. Khususnya mahasiswa pertanian yang nantinya dapat ikut berkontribusi bersama petani untuk membangun pertanian Indonesia yang jaya. Sehingga dengan adanya sinergisasi antarpihak yang bersangkutan, hasil holtikultura akan berkualitas dan dapat bersaing di pasar dunia.
III. Gagasan solusi terkait RUU hortikultura
Berikut gagasan solusi terkait perwujudan tujuan utama RUU Hortikultura ;
 Membentuk wadah aspirasi untuk petani, pedagang, dan pengusaha hortikultura dan membentuk perhimpunan hortikultura yang mewadahi organisasi desa. Dengan harapan dapat merapatkan koordinasi antar masyarakat desa denan pemerintah
 Mengadakan penyuluhan ke daerah-daerah hortikultura secara berkala
 Membuat standarisasi mutu produk hortikultura
 Memerbaiki sinergisasi pemerintah daerah dan IPB seperti LPPM, Bina Desa, dan lain-lain.
 Memaksimalkan buah penelitian terkait pertanian dan hortikultura seperti PKM, skripsi, tesis, dan lain-lain untuk dipergunakan dan dikembangkan oleh pemerintah daerah dan petani.

BAB III
KESIMPULAN

Melihat permasalahan hortikultura, sudah sepatutnya masyarakat mengambil inisiatif sendiri. Pemerintah daerah adalah institusi terdekat dengan masyarakat yang tentunya yang menjadi sandaran masyarakat. Program sinergisasi dengan institusi pendidikan yang berbasis pertanian merupakan solusi yang sangat potensial untuk mewujudkan tujuan utama RUU Hortikultura. Tujuan utama RUU Hortikultura juga bisa direalisasikan dengan gagasan-gagasan baru.